Malam. Malam yang dingin. Angin seperti menghunus pisau dan mengiris setiap inci kulit waktu. Pisau berkilat di mataku. Pisau yang sesungguhnya terarah dengan tepat di antara dua kening.Cepatlah, sebelum tangan ini lepas dari kendaliku! Teriak lelaki itu dalam getaran yang hebat. Aku tak tahu apakah ia marah atau gentar. Suara keras, namun runtuh sebagai kemurungan. Aku mengambil dompet dan kuserahkan dengan gemetar pula. Ini masalah nyawa, Bung. Satu-satunya. Bukan kematian yang kutakutkan, namun janjiku untuk menemui seseorang tengah malam ini, membuatku tak mungkin mengambil resiko untuk mencumbui ketajaman pisau dan liar kegelisahan di sepasang mata yang nampak mulai berair itu. Ia menangis. Sungguh. Tangisan apa pula yang mengalir deras dari seorang perampok.
Pergilah! Pergilah! Ambil semua yang kau inginkan. Aku membatin sendiri. Bagaimana bisa seorang bajingan menyerah kepada seorang perampok gelisah macam itu. Kau sakit! Cepatlah cari obat yang mujarab. Pergilah ke tempat pelacuran. Atau belilah minuman keras. Mabuklah sampai memar sepasang mata yang rapuh itu. Aku terus mencacinya dalam hati. Ia tak juga beranjak. Pisau itu terus terarah. Tajam, berkilat, dan penuh getaran. Sebelah tangannya menangkap dompet dan membukanya dengan tergesa. Hampir jatuh. Ia terkejut dengan kebodohannya sendiri. Dan akibatnya pisau itu menekan keras keningku. Ada yang mengalir. Ngalir di celah antara dua mataku.
Darah! Teriaknya tergagap. Kau! Kau berdarah! Pisau itu bukannya melemah, malah semakin kuat menusuk. Ngilu merasuk. Perih terbit. Ia mendadak marah dan gila. Barangkali darah itu telah menyulut sesuatu di tubuh orang itu. Barangkali rasa takut.
Perampok sialan. Gerutuku sambil menahan sakit. Tubuhku semakin rapat ke tembok yang lembab. Dan tubuhnya hendak merapat pula ke tubuhku. Tubuhku terlalu kecil untuk berontak terhadap manusia tinggi kekar ini. Jika saja. Tidak. Tak ada berandai-andai. Sekali kubuat kesalahan. Pisau itu akan membabi-buta. Pisau itu berada dalam kendali orang yang tak punya kendali. Getaran hebat di tangan dan tubuhnya bisa saja membuat pisau itu terjatuh, bisa juga membuatnya menjelma seribu sayatan indah di kulit, daging, dan tulangku. Aku punya janji. Tak bisa aku bermain-main. Ah, padahal kematian adalah sesuatu yang sering kupermainkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar